Keon, jikalau kau berdiri di sampingku menjadi pembelah angin di puncak ini
Pastinya juga kau akan mengerti
Mengapa aku di sini, membawa diri
Gunung yang diam ini, punya seribu bahasa lebih rumit dari lidah manusia
Keon, gunung ini lebih lewat dari kita. Betapa bodoh kukira, manusia memikir ia telah menakluknya hanya dengan menginjak wajahnya, walhal gunung ini tetap juga tegar. Malah lebih hidup, saat kita musnah nanti ia juga masih berdiri, menunggu ajalnya sendiri hanya bila berakhirnya waktu. Nah, manusia mana yang menakluknya sedang gunung itu sendiri telah menakluk keberadaan, menakluk keabadian, menakluk kesabaran berdiri berjuta tahun lamanya di pasak bumi. Sedang manusia yang pernah menakluknya itu terlalu muda, malah betapa hayatnya dirangkum oleh celah-celah hayat gunung itu sendiri.
Keon, aku memanjat gunung ini sambil menunggu khabar darimu, jikalau angin dari kota selatan sempat singgah ke banjaran ini. Kau diselimuti putih pakaianmu sebagai doktor pelatih yang baharu, sedang aku diselimut kabus putih tebal di tinggi awan sebagai seorang pendaki yang baharu. Tanggal merdeka ini kita sama mendaki puncak baru dalam kehidupan, walau berbeza pengertiannya buat kita. Waktu pagimu kau bertemu dingin dalam kepekatan hidup di kota, aku bertemu dingin dalam ranjau dan onak di celah belantara. Ini merdeka kita, Keon.
Keon, jikalau kau boleh merasa apa yang kurasa, tunduk kepada takdir Sang Pencipta, maka tentulah kau akan merasa bahawa cinta telah membawa aku betapa jauhnya. Dalam dada ini Keon, lukanya lebih banyak dari luka yang terzahir di jasad yang menyimpannya. Jika boleh kubelah dadaku untuk kau melihat, bahkan yang hanya dapat kau saksikan cumalah kesakitanku. Bahkan Keon, kau jauh lebih mengerti dariku.
Aku merasa cintaNya saat aku berdiri di puncak ini, Keon. Kasih sayangNya dalam dedaunan hijau, dalam batu-batuan gunung, dalam kabus yang meliputiku, dalam lintasan cahaya dari langit angkasa. Betapa aku merasa kerdil di hamparan gunung, terasa seluruh kewujudanku dan hayatku hanyalah sebuah titik dalam lautan biru yang tidak berdasar. Aku malu Keon, kepadaNya. Sedang hatiku masih butuhkan cinta kepada manusia, Dia memberikanku cinta. Ketika jiwaku perlukan kasih, Dia menyelimutiku dengan kasihNya. Ketika sanubariku ingin disayangi, Dia menyayangiku. Dia mengizinkan aku berdiri di persadanya, memberiku merasa setitis nikmat melihat limpahanNya.
Keon, aku mendaki demi cintaku.
Keon, gunung ini sama seperti orang-orang yang kau pernah cintai. Zalim dan membeku, bukan untuk kau miliki. Kau boleh saja mampir dan hadir, tetapi kau akan pulang kembali tanpa dapat kau milikinya walau seinci. Tapi saatnya kau hadir, ia akan mengajarmu Keon, dengan kedinginannya yang kejam, tentang kehidupan. Betapa tinggi sekalipun kehidupan ini kau daki, bukan semua bakal jadi milikmu.
Keon, ini sebuah janjiku kepadamu, dan aku menulis kepadamu untuk melunaskan janjiku. Warkah ini aku sudahi dengan ucapan salamku dari puncak gunung ini. Semoga kau dapat mengerti walau sedikit isi hatiku, supaya dalam kehidupan nanti, aku boleh mengajarkanmu apa yang kupelajari lewat persinggahan ini. Sahabatku Keon, semoga hatimu setegar gunung, dan semoga kau senantiasa bertemu bahagia.
7 Habits of Highly Effective People
3 days ago
Sebak baca yang ni...minta izin copy boleh?
ReplyDeletesaya credit to Bad.
haha boleh Nora :)
Delete