seorang buta

 ada tulisan yang kita biarkan ditimpa tulisan-tulisan lainnya, lalu terus tertimbun ke dalam draft di bawah himpunan draf-draf yang lainnya. usia berlalu, tulisan itu tidak lagi relevan, hanya suatu pintasan sejenak emosi dan memori yang rawak di garis masa. saat dibuka kembali, oh begini yang aku fikir dan rasa pada detik sekian-sekian, kadang ada rasa malu menumbuh di sanubari, tersipu kerana pernah berfikir dan merasa demikian suatu masa dahulu. 

dan demikian, dalam menjalani detik-detik tertentu, rasa perlu terabadi ke dalam tulisan, tetapi lupa dan malas merajai, maka memori itu menjadi pudar, tidak pernah tertulis menjadi lembaran yang boleh dibaca semula. seiring peredaran zaman, semakin dilupai dan sampai suatu masa, padam bersama jasad yang membawanya.

 

aku masih di sini, tahun ke dua puluh tiga millenia ketiga. yang membuatkan aku ingin bercerita, adalah ada tulisan-tulisan yang diterjemah dan terluah dari rasa dan asa terpaling dalam, tiap kata diuntai dengan emosi dan juraian air mata, dan apabila kau kirimkan tulisan itu kepada penerimanya, hanya sepi yang dihambur kembali. dan kau sedari, tidak semua berbicara dalam bahasa yang sama. 

kau boleh mengarang puisi terindah, syair paling romantis, tapi jika yang mendengarnya hanyalah sebuah tembok yang tuli dan bisu, apakah maknanya? kau mampu melakar lukisan paling indah dalam seantero alam semesta, tapi yang melihatnya hanya seorang yang buta, apakah gunanya? 

untuk itu, aku mengerti. frekuensi kita semua tidak akan sama. aku hanya mampu menulis segenap rasa lara, tapi itu tidak bermaksud jiwamu yang membaca mampu meresap maknanya.