09 August 2016

DWI PUNCAK


I

Renung, Kenderong
Intai, Kerunai

Dalam puncak setinggi dada langit, kita mencurah titis keringat, menabur debu-debu emosi pada tapak-tapak langkah tinggal di batu-batu putih yang merekah, mengosong hati dari merasa – tinggi mencapah ke tingkat tinggi awan gemawan. Langkah kita, sederap demi sederap. 

Selimut putih membalut tubuh kita, melindap sekadar rasa yang makin mati, ingin terus mendaki. Dingin dan beku, dalam matamu kutemu kehangatan yang dicairkan sebuah ikatan yang belum dilentur waktu

Angin itu, Tuhan
Jikalau persis sepertinya bertiup ingin menghembus padam api asmara dalam dadaku, aku sulutkan seribu lagi pelita menjulang-julang panas waima ke puncak ketujuh syurga sekalipun

Panas itu, Tuhan 
Jikalau membakar dadaku sehingga tinggal tulang sulbi, debu-debu bertiup akan kusembur tinggi, buat pengganti ragaku mendaki

II
Syurga apa yang kau cari di atas kayangan? Bahkan jalannya berkerikil, membakar dari tumit ke pembuluh darah
 
Cerita apa yang kau tuliskan di atas perenggan? Bahkan penanya menangis, mencakar ulu hati dengan seribu amarah

Ini, bukan lagi soal maruah dan bukti. Ini adalah keakuanku, kepada pangkuanNya di puncak dunia aku menagih rasa aku sebagai hamba kepada Maha Pencipta, meraih kasihNya di gumpalan awan, menagih hina ilhamNya buat kutitipkan coretan

III
Saatnya aku kembali, air mata yang menitis kugauli dengan benih-benih hujan, biar turunnya menyuburkan bumi gersang, hutan yang terbakar di sisi Kenderong

Darah yang menitis dari deritaku biarkan memerahkan jalan-jalan ke Kerunai, menjadi penanda untuk pengembara yang hatinya pernah diluka cinta

Kau, pemilik kemuliaan. Aku telah bertamu di persadamu, merasa cintamu. Dan kini aku kembali ke kaki langit sebagai aku yang baru.












No comments:
Write curses

Hey, we've just launched a new custom color Blogger template. You'll like it - https://t.co/quGl87I2PZ
Join Our Newsletter