I
Renung, KenderongIntai, Kerunai
Dalam puncak
setinggi dada langit, kita mencurah titis keringat, menabur debu-debu emosi pada
tapak-tapak langkah tinggal di batu-batu putih yang merekah, mengosong hati
dari merasa – tinggi mencapah ke tingkat tinggi awan gemawan. Langkah kita, sederap demi sederap.
Selimut putih
membalut tubuh kita, melindap sekadar rasa yang makin mati, ingin terus
mendaki. Dingin dan beku, dalam matamu kutemu kehangatan yang dicairkan sebuah
ikatan yang belum dilentur waktu
Angin itu, Tuhan
Jikalau persis
sepertinya bertiup ingin menghembus padam api asmara dalam dadaku, aku sulutkan
seribu lagi pelita menjulang-julang panas waima ke puncak ketujuh syurga sekalipun
Panas itu, Tuhan
Jikalau membakar
dadaku sehingga tinggal tulang sulbi, debu-debu bertiup akan kusembur tinggi,
buat pengganti ragaku mendaki
II
Syurga apa yang
kau cari di atas kayangan? Bahkan jalannya berkerikil, membakar dari tumit ke
pembuluh darah
Cerita apa yang
kau tuliskan di atas perenggan? Bahkan penanya menangis, mencakar ulu hati dengan
seribu amarah
Ini, bukan lagi
soal maruah dan bukti. Ini adalah keakuanku, kepada pangkuanNya di puncak dunia
aku menagih rasa aku sebagai hamba kepada Maha Pencipta, meraih kasihNya di
gumpalan awan, menagih hina ilhamNya buat kutitipkan coretan
III
Saatnya aku
kembali, air mata yang menitis kugauli dengan benih-benih hujan, biar turunnya
menyuburkan bumi gersang, hutan yang terbakar di sisi Kenderong
Darah yang
menitis dari deritaku biarkan memerahkan jalan-jalan ke Kerunai, menjadi
penanda untuk pengembara yang hatinya pernah diluka cinta
Kau, pemilik
kemuliaan. Aku telah bertamu di persadamu, merasa cintamu. Dan kini aku kembali
ke kaki langit sebagai aku yang baru.
No comments:
Write curses