I
Danaunya di langit,
aku membawa nestapa pedih ibu jadam
yang menulari planet dan gugus bintang,
kelam dan samar.
Mataku menatap kelabu yang abu-abu,
kini mata air meluncur dahsyat,
hatiku tersayat pabila lidah ibuku
digewangi pedang mata tujuh puluh tujuh,
pukau apa memukau gembala sepulau,
danaunya di langit,
kini menggeliur air terjun jiwa yang remuk.
II
Adapun kilat yang membelah senja membelah
lindap kasih petualang,
apakah gerangan cinta hanya melekat sebentar di bibir,
danaunya di langit dan kini sengit dalam tamadun
separuh jadi.
"Adakah gila bagimu tuan, bahasa tak mengenal bangsa?"
Hai, hai si anak sudah tak merasakan harum kasturi
nenek moyangnya, cinta tak berbekas, hanya pandangku
remuk redam.
III
Dan mukjizat, doa habaib
danaunya di langit pertama,
kata dan kata yang bersatu,
ayat dan ayat yang terjalin dalam
rangkaian hikayat dan rubaiyyat,
syair dan pantun, seloka dan talibun.
Danaunya di langit,
dan ada gerimis yang kelak menjadi badai
dan taufan mengamuk,
merongrong tonggak adab,
nescaya firasat bulan dan pandang mata
menjebak sejarah
"siapa yang biadap pada rohnya?"
Danaunya di langit, danaunya, danau!
-Kemala-
Jurnal 19 November - Bangkit
4 days ago
No comments:
Write curses